Jumat, 13 Januari 2012

NU Dan Civil Religion

Bagaimanapun perjumpaan bermacam-macam agama di dalam satu negara, yang masing-masing menawarkan nilai norma buat kehidupan sosial tidak memungkinkan salah satu dari norma agama tersebut digunakan sebagai sumber makna general dalam keberagamaan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan makna pengganti sebagai sistem yang dapat menfasilitasi akan kebenaran inklusif dari semua agama. Makna pengganti dalam makna generalnya yang disadur dalam kajian ini adalah dengan mempertimbangkan gagasan civil religion. Sebuah Gagasan yang memiliki semangat meletakkan nilai-nilai agama sebatas subtansi, bukan formalisasi yang mengabaikan jiwa rasional. Gagasan ini juga difahami sebagai kesepakatan menimum nilai-nilai agama yang dipengangi bersama sebagai sebuah norma perakat dalam kehidupan suatu bangsa. Di sisi lain, keagamaan NU yang menjadi fokus penelitian ini, jejak guratan langkahnya banyak menghasilkan fenomena kesejarahan yang berkeseuaian dengan sisi material maupun substansial civil religion. Hal itu terekam dalam epistemis Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai keagamaan NU yang menampilkan perpautan organis antara tauhid, fiqh dan tasawuf secara tidak berkeputusan pada gilirannya terbukti mampu mewujudkan universalisasi ajaran-ajaran agama menjadi bahasa etika. Dengan epistemis itu, keagamaan NU mampu merambah kakinya diruang publik dalam semangat kemanusiaan dengan pengejawantahan rahmatan li al-alamin yang aplikasi etisnya adalah hidup bersama sebagai bangsa dengan misi perdamaian atas semua orang. Bahasa etika dalam pesan-pesan moral subtansial agama inilah yang kemudian tersublimasi menjadi norma-norma kolektif dalam pengertian civil religion. Dalam praksisnya, selama masa persiapan dan setelah kemerdekaan Indonesia ketika faksi-faksi muslim dan non muslim saling menyerang dan mempertahankan diri untuk mendefinisikan dasar filosofis negara, NU berperan dalam merumuskan konstitusi yang disebut dengan Pancasila yang mampu memberikan konsensus terhadap nilai-nilai religius untuk dipegangi bersama mengiringi meningkatnya konflik dan perpecahan. Aras gerak kontinuitas dasar negara tersebut kemudian menjadi komitmen bagi NU untuk menjadi suatu yang final dalam bernegara.
 1. Inti dari tradisi keilmuan yang dianut NU, dalam hal ini adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam epistemis-nya merupakan perpautan organisasi antara tauhid, fiqh dan tasawuf secara tidak berkeputusan. Hal itu, menunjukkan sebuah gerak sirkulatif yang mengantarkan tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah bagi warga NU untuk melihat sesuatu secara seimbang, harmonis dan dari berbagai tepian. Mengambil satu aspek saja dan mengabaikan aspek lainnya, akan merusak tatanan kosmis yang
seimbang dan harmonis ini. Warisan epistemis Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu terbukti mampu menampilkan proses universalisasi ajaranajaran agama menjadi bahasa etika.
Dengan epitemis seperti itu, NU mengusung ajaran Islam tidak dengan jalan formalistik, dan dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa syari’ah Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan
institusi. Oleh kerenanya, dalam kaitannya agama dan negara, NU memandang Agama (Islam) sebagai etika sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu sesuai dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia. Dengan begitu keagamaan NU merambah kakinya diruang publik dalam semangat kemanusiaan melalui pengejawantahan rahmatan li al-alamin yang aplikasi etisnya adalah hidup bersama sebagai bangsa adalah pemenuhan misi perdamaian atas semua orang. Pesan-pesan moral
subtansial agama inilah yang kemudian tersublimasi menjadi normanorma kolektif dalam pengertian civil religion.
2. Epistemis ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam peraksisnya terimplementasikan guna memotivasi civil religion di Indonesia untuk mempertahankan Pancasila karena dipandang sebagai norma bersama yang
esensial dan transendental, karena ia mengandung semangat profetik setiap agama dan kepercayaan, untuk mempertahankan kesatuan nasional. NU mempertahankan Pancasila dengan menempakan fungsinya sebagai civil religion Indonesia untuk kerangka perekat sejumlah tipe etnik yang berbeda-beda, etos-etos kultural, pluralitas agama ke dalam satu negara dan bangsa yang bersatu di bawah bendera moral tunggal.
Dalam peran praksinya, NU bersama dengan yang lainnya mampu merumuskan konstitusi yang memberikan konsensus terhadap nilai-nilai religius yang dipegangi bersama mengiringi meningkatnya konflik dan perpecahan yang terjadi selama masa persiapan dan setelah kemerdekaan Indonesia ketika faksi-faksi muslim dan non muslim saling menyerang dan mempertahankan diri untuk mendefinisikan dasar filosofis negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar